History

SEJARAH KELURAHAN KAYAWU!!!


Kayawu sejak jaman purba telah menjadi daerah persengketaan penduduk Woloan-Katingolan (Tombariri) dan Kakaskasen. Semula wilayah ini menjadi milik orang-orang Tombariri. Ketika Tonaas Lokonmangundap dari Kakaskasen dapat memberantas tokoh pengayaw Bantik bernama Zakian dan Zaziha sekitar tahun 1500-an, dengan memenggal kepala mereka, maka kepada Lokonmangundap sebagai tanda jasadiberikan sebuah lisung emas.


Sedang kepada orang-orang Kakaskasen oleh 9 tonaas bersaudara yang memerintah Woloan, dihadiahkan tanah Tatou (berarti sumur). Ketika itu menjadi tempat menyadap saguer orang Woloan. Letak Tatou ini di persipatan Tomohon, Kakaskasen, Wailan, Kayawu dan Woloan kini. Pemberian tersebut memanjang ke Gunung Kasehe dan dibatasi oleh sungai kecil Rano Riri (Air kuning).

Tambersiow (Pemberian sembilan), menjadi tempat pengukuhan perjanjian kepemilikan orang-orang Kakaskasen atas Tatou dan daerah sekitarnya. Di sinilah Lokonmangundap bertemu dengan kesembilan Tonaas Woloan dan mengikat janji setelah ia tiba dengan enam pengawalnya dari Mandolang Bantik lewat Tontorambun. Dinamai Tontorambun , sebab gemuk lemak atau rambuna kepala-kepala pengayau menggantung.
Tapi dalam perjalanan sejarah, Tatou dan umumnya bagian selatan lembah utara sungai Ranowangko selalu menjadi wilayah pertikaian. Orang-orang Woloan yang merasa tidak puas dengan pemberian itu, selalu berusaha mendudukinya. Ketika Katingolan dipimpin Tonaas Wetik, mereka dapat menguasainya kembali, setelah menakut-nakuti Kakaskasen dengan ular-ular hitam. Karena gembira orang Kakaskasen telah meninggalkan Tatou, maka diadakan acara Rumambak di tempat Kentur Poipoi (berjalan bersijingkat) yang dipercayai dibuka oleh Dotu Poipoi.

Di masa itu, Kayawu dijadikan perkebunan dan beberapa podok para penyadap saguer ada di situ. Ketika terjadi gempa bumi dahsyat, bulan Februari 1845, orang-orang Woloan lari meninggalkannya, karena ketakutan.

Kemudian datang dari Kakaskasen Tonaas Paat, Surentu dan Ambei di sekitar 1850 yang menjadikannya sebagai kawasan berburu dan kemudian membuka areal persawahan (tumeras lepoh) ketika menemukan mata air Liwowo (disebut juga Leow, yakni dari jenis kayu yang tumbuh di situ). Pemukiman pertama di Liwowo, yaitu berupa pondok-pondok sabuah di lembah sungai Karinda, antara sungai Ranowangko dan pegunungan Irang yang mempunyai kandungan batu tewel (batu kasuang), yakni di bagian barat desa kini.

Kemudian pada tahun 1859, Hukum Tua Kakaskasen Adrianus Kaunang menyuruh seorang kepala jaga bergelar Perewis yakni Habel Wongkar memimpin 70 keluarga datang menetap di daerah lembah sungai Rake yakni daerah pemukiman saat ini.

Tak berselang lama kemudian, timbul sengketa dengan penduduk Tombariri dari Woloan. Penduduk asal Woloan karena melihat lokasinya subur mulai berdatangan dan mendirikan sabuah di lokasi bernama Bantol (Wantol, kini lapangan desa). Ketika mereka kembali ke woloan, penduduk asal Kakaskasen menakut-nakuti dengan menggantungkan ular hitam di setiap sabuah orang Woloan. Saat kembali dan melihatnya, kepala kelompok dari Woloan memutuskan meninggalkan lokasi Bantol. "Mawuri pe kita", katanya. Ketika ditanya anggota kelompoknya, ia menyahut, "Kita ney ka wantol mo".

Kelompok dari Woloan kemudian menuji ke arah timur di telaga yang memiliki mata air Liwowo yang menjadi sumber air persawahan penduduk asal Kakaskasen. Mereka bermaksud membuka persawahan di sana, Karenanya, timbul persoalan antara kedua kelompok tersebut.

Di lokasi yang jadi persengketaan ada satu leput (wadah tempat jalan air) yang sengit diperebutkan. Orang Tombariri dari Woloan mengklaim leput atau bubusan sungai Karinda yang melewati telaga Liwowo di ujung selatan Pegunungan Irang dari kayu Woloan (versi lain kayu cempaka), tapi menurut pemukim-pemukim Kakaskasen, leputnya dari kayu Kayawu, sejenis kayu berwarna merah, yang mereka pasang ketika itu. Pemerintah kini turun tangan mencampuri. Persyaratan yang disepakati keduabelahpihak adalah tempat yang ditumbuhi kayu Woloan, kepunyaan orang woloan. Sebaliknya yang ditumbuhi kayu Kayawu milik morang Kayawu.

Residen Manado W. C. Happe pada tanggal 31 Oktober 1859 mendatangi Kayawu. Ketika tiba, Happe diantar ke lokasi sengketa oleh Tonaas Paat dan Surentu. Setelah memeriksanya, Happe menemukan leputnya ternyata terbuat dari Kayu Kayawu. Sebuah versi menyebut, pada malam hari, leput yang memang terbuat dari kayu Woloan, sengaja diganti dengan kayu Kayawu. 

Segera dinyatakannya wilayah itu milik orang Kakaskasen dan diperintahkannya penanaman tawaang di gunung Kasehe melewati Pegunungan Irang, melewati leput Kayawu di Liwowo menuju ke sungai Ranowangko sebagai batas Kayawu dengan Tombariri *kini Kayawu berbatas di utara dengan Gunung Lokon, barat Tara-tara, selatan Sungai Ranowangko dan timur dengan Wailan).

Sejak itulah perkampungan di daerah antara lembah sungai Karinda dan sungai Lelean dinamakan Kayawu. Namun pemukiman di Liwowo belum ditinggalkan.

Disebutkan salah satu tokoh terkenal di Liwowo ini adalah Tonaas Moningkalembat, seorang jagoan. Ketika negeri-negeri di Minahasa di hebohkan dengan diadakannya pertandingan olahtaga bakubintik, adu kekuatan kaki pukul betis, berhadiah gong kolintang, yang diselenggarakan di ibu kota distrik Kakaskasen di Lota, maka Moningkalembat datang mewakili Kayawu dan menang.

hadiah gong ditolak Moningka. Diminta untuk dirinya tanah Wantol. Ketika meninggal, ia diwarugakan di perkampungan awal, lalu di tahu 1976 dipindah dekat Watu Sumanti bersama satu waruga lainnya.

Kayawu menjadi negeri mandiri dari Kakaskasen, ketika Jesaya Rompis menjadi Hukum Tua pertama menggantikan perewis Habel Wongkar tahun 1860. Di tahun 1860 itu, Kristen masuk Kayawu dibawah Pendeta Nicolaus Phillep Wilken, diawali dengan babtisannya dua orang warga.

Di tahun 1861 Wilken mengangkat beberapa pemuda dan pemudi Kayawu menjadi murid di latih menjadi guru pada warga lainnya. Tahun tersebut, Wilken mendirikan Volkschool NZG dengan tiga murid. Hanoch Wongkar menjadi guru jemaat GMIM pertama, begitupun sebagai kepala Volkschool.

Menurut satu turunan, dimasa Jesaya Rompis pemukiman di Liwowo ditinggalkan (versi lain menyebutkan pemukiman di Liwowo sempat bertahan sekitar 60 tahun, sebelum akhirnya dijadikan daerah persawahan sampai saat ini ).

Tuturuan itu mengungkapkan penduduk dipindahkan Rompis ke lokasi Tambersiow yang berada di tanah datar subur dan strategis, sekitar tahun 1870.Ia memerintah hingga tahun 1875 dan diganti Arnold Wongkar (versi lain Arnold baru menjabat sesudah Hanoch Wongkar).

Pada 6 Agustus 1891,anak Habel Wongkar bernama Hanoch Wongkar terpilih menjadi hukum tua.Ialah kemudian yang memindahkan pemukiman Kayawu dari Tambersiow ke lokasi sekarang (disebut juga sebagai pemindahan dari Liwowo).Pemindahan itu terjadi gara-gara penduduk melihat di mata air-mata air ikan lele (lumalaput = melekat di batu) yang rasanya tidak enak.

Keinginan warga untuk memperolehnya membuat mereka berlomba membangun leput dan bubusan, sehingga dirasa pemukiman perlu dipindah.Di bekas pemukiman Liwowo kini masih berada sejumlah waruga.Salahsatu adalah waruga Moningka yang di tahun 1976 dipindah ke dekat watu sumanti bersama satu warga lainnya.

Meski penduduk telah kristen,tapi pemindahan negeri dilakukan dengan menggunakan adat tradisi. Para pemimpin dan masyarakatnya mengdakan acara Linigauan atau Lalagesan,bertanya kepada Empung, dan mendapat pertanda baik di Watu Sumanti, dekat dengan Lezar, sehingga negeri Kayawu yang baru mulai ditempati.

Watu Sumanti sendiri menjadi tempat berunding dan bermusyawarah dalam menentukan sesuatu perkara bilamana telah mendapat petunjuk dan jawaban dari ibadah di Watu Sumanti.

Disini umpama dilakukan penghakiman bagi penduduk yang berbuat kesalahan. Biasanya sidang diadakan di Lezar, dimana tersangka disuruh berjalan dari Watu Lezar ke Watu Tinolu'an sebanyak 50 langkah ke Watu Sumanti. Apabila benar-benar bersalah, setiba di Watu Sumanti,tersangkanya akan pingsan.  

Hanoch Wongkar pada 23 Maret 1903 kembali diangkat sebagai Hukum Tua dan pemimpin hingga meninggalnya 8 Juni 1928. Oleh jasa-jasanya, pemerintah Hindia Belanda memberinya bintang penghargaan Kroon, sehingga ia digelari Hukum Tua Bintang.

Jalan tembus berasal batu dari Kakaskasen liwat Wailan dapat dibuka, membuka isolasinya. Begitu pun jalan ke Tara-Tara, Woloan dan Tomohon liwat arah selatannya berasal tanah. Hasil buah-buahan dan hasil hutannya dapat dipasarkan di pasar Tomohon. Selain itu persawahannya semakin teratur dengan dibangunnya bendungan-bendungan dari irigasi Ranowangko lengkap dengan kincir-kincir air.

Hanoch Wongkar di akhir masa hidupnya tak dapat lagi menjalankan tugasnya, sehingga Arnold Wongkar lalu Kaleb Pandey di tahu 1927 menjabatnya.

Kaleb yang guru sekolah desa akhirnya menjadi pengganti Hanoch sebagai Hukum Tua menjabat hingga tahun 1930. Pengganti berturut-turut Abedneju Gigir (1930-1946), Altin L.Wongkar (11 November 1946-10 Oktober 1959), pejabat Musa Engelbert Manoppo (1959-1960), Engelbert E.Rombon (1960-1982), lalu Hanoch W. Surentu sejak 16 Oktober 1982-1993, dan diganti Aristarkus Manoppo (1993-2002), sebelum kembali dijabat Hanoch Surentu yang terpilih dalam pemilihan 4 Desember 2001 dan dilantik 29 Januari 2002. Selanjutnya, Hanoch Surentu menjabat Hukum Tua Kayawu kembali pada tahun 2002-2007. Kemudian, dilaksanakan pemilihan Hukum Tua pada bulan November dan yang terpilih adalah Josef Lexi Pelealu dan dilantik pada bulan Desember 2007 dan melaksanakan tugas sejak Desember 2007 dan hanya berakhir masa jabatannya sampai Maret 2008 oleh karena meninggal dunia sebab kecelakaan. Dan untuk mengisi lowongan jabatan tersebut, maka oleh pemerintah Kota Tomohon mengangkat Jantje V. Wenas selaku kepala urusan pemerintahan menjadi Pejabat Sementara Hukum Tua Desa Kayawu dari Maret 2008 sampai Desember 2008.

Pada bulan Desember 2008, berdasarkan pertimbangan dari Pemerintah Kecamatan Tomohon Utara maka ditetapkanlah Djoni Montolalu sebagai Hukum Tua definitif di Desa Kayawu berdasarkan SK Walikota Tomohon. Semasa itu, Djoni Montolalu melaksanakan tugas sebagai Hukum Tua Desa Kayawu sampai pada bulan Oktober 2008. Kemudian berdasarkan keputusan DPRD Kota Tomohon dan SK Walikota Tomohon maka pada tanggal 23 Oktober 2008 Desa Kayawu beralih status menjadi Kelurahan Kayawu yang ditandai dengan ditetapkannya Kelurahan Kayawu sekaligus dilantiknya Djoni Montolalu sebagai Lurah pertama di Kelurahan Kayawu sampai sekarang.

Berdasarkan data resmi Kelurahan Kayawu, tercatat penduduk Kayawu sampai Februari 2012 sebanyak 2.347 jiwa (1.205 laki-laki dan 1.142 perempuan) yang tersebar di 7 Lingkungan.