INDONESIA memang negeri yang kaya sumber bahan alam. Buktinya dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh Kementrian Negara Riset dan Teknologi, salah satu peneliti mengatakan bahwa Aren bisa menjadi sumber bioethanol. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung dengan persentase sebesar 7,5 persen dari produksi 15 liter per hari, maka untuk jangka waktu satu bulan saja bisa dihasilkan hingga 500 liter bioethanol. Padahal jumlah ini termasuk yang minimal dan terhitung untuk satu pohon Aren.
Salah satu pengisi makalah seminar, John B Bukit dari PT Kreatif Energy Indonesia mengatakan sudah sejak dahulu Aren secara tradisional ditumbuhkan oleh masyarakat dan menjadi gula kepercayaan. Diolah tanpa pengawet dan pemutih menjadikan gula aren ini sangat berkhasiat dan bisa memperpanjang umur. Namun beberapa di antaranya juga ada yang membuatnya sebagai minuman memabukkan.
”Kalau dibandingkan dari keunggulannya, gula aren lebih larut dalam air dan juga rasanya khas aromatik dibanding tebu,” ujar John. Sayang meski unggul, karena budidayanya dianggap sebagai produk hutan yang tak perlu ditanam, populasi tanaman ini menjadi turun. Bahkan karena pengolahan yang tidak murni, harga di pasaran menurun drastis.
Di Sibolangit Sumatera Utara contohnya, banyak petani aren mencari jalan pintas dengan mencampur 60 persen gula putih dan aren. Dari segi waktu katanya bisa lebih dihemat dan harga laku jual masih tergolong tinggi. Untuk campuran ini misalnya, harga bisa mencapai Rp 8.000 sampai Rp 9.000 per kilogram. Harga gula asli aren mencapai Rp 10.000.
”Kasus seperti ini juga terjadi di Kudus, Tuban, Lamongan dan Tuban. Bahkan di Lampung sudah tidak bisa dipercaya lagi karena harga produk bisa mencapai Rp 5.000,” katanya. Saat ini budidaya kembali bergairah dan diharapkan bisa memerbaiki keadaan masyarakat setelah beberapa perusahaan meningkatkan produksi bioethanol pada 2007 ini.
Peneliti Aren Puslitbangbun Deptan Bogor David Aroerang mengatakan, upaya memanfaatkan aren sebagai bioethanol bisa menjadikan aren sebagai nilai tambah. Ketersediaan bahan bakar yang mengeruk uang negara dengan sistem subsidi dan menipisnya persediaan membuat energi terbarukan seperti aren turut dipertimbangkan. ”Ini adalah diversifikasi yang menguntungkan,” katanya.
Selain aren, di Indonesia sudah banyak sumber bahan pangan yang memiliki manfaat yang sama. Lebih menguntungkan menggunakan sumber bahan nabati ini karena kompetisi sebagai bahan pangan lebih kurang. Dibandingkan tanaman singkong, jagung, tebu atau kelapa sawit sendiri. Di lain pihak juga menyumbang pada kendaraan berbahan bakar fosil karena bisa menurunkan emisi.
Di Sulawesi, kata Davis, tanaman ini sudah menjadi mata pencaharian masyarakat yang khas, karena dikenal sebagai lokasi aren terbesar di Indonesia. Terdapat sekitar dua juta pohon milik masyarakat. Variasinya dalam bentuk produk tidak hanya gula tetapi juga menjadi minuman saguer (sejenis tuak) dan captikus (alkohol berkadar tinggi).
Menurut David, sejak uji produksi yang dimulai pada Maret lalu diperoleh fakta bahwa baik saguer maupun captikus dapat menghasilkan bioethanol 90-95 persen setelah proses destilasi pertama. Selanjutnya pada proses destilasi kedua dengan penggunaan zeolit mampu menghasilkan biethanol 99,6 persen (fuel grade).
Kapasitas produksi satu alat destilasi skala rumahan (perkelompok terdiri dari dua petani/penyadap aren) saat ini mencapai lima liter per jam. Dalam masa operasi 10 jam per hari bisa dihasilkan 90 persen bioethanol. Sementara dari 10 alat destilasi dihasilkan sekitar 13 ton per bulan untuk 26 hari kerja.
Awesome in your Posting...
BalasHapusincrease knowledge for me...
Thnkz..//
waw gud info... thx guyz.
BalasHapus